Menelusuri Asal-Usul Gandrung Banyuwangi
Kesenian daerah Blambangan merupakan bentuk karya seni yang bersifat spesifik. Sifat khas yang dimiliki disebabkan adanya faktor putaran biografis yakni letak daerah Blambangan sebagian dari pulau Jawa berdekatan dengan Bali dan Madura. Faktor historisnya dan pertumbuhan seni budaya daerah Blambangan pada dekade terakhir erat hubungannya dengan Bali. Dalam kesempatan ini penulis mencoba menuangkan kembali berdasarkan dari berbagai sumber tentang “Asal-Usul Gandrung Banyuwangi”.
Konon pada penyelenggaraan upacara pada jaman kerajaan Majapahit, sering dilakukan pementasan tari di istana yang dikenal dengan sebutan tari “juru angin”. Seorang wanita yang pandai menari dan menyanyi dengan gayanya sangat erotis. Penari tersebut diikuti oleh seorang buyut (Lansia) yaitu seorang penari pria bertugas sebagai puna kawan penari juru angin tersebut. Bentuk tarian
sebagai prototype, suatu bentuk kesenian yang sekarang dikenal dengan sebutan “gandrung”. Hal itu kiranya dapat diasumsikan dari bentuk penampilan penari yang selalu diikuti penabuh kluncing atau disebut seorang pengundang.
Tugas seorang pengundang tersebut memberikan penampilan yang mirip dengan gaya lawak pada saat penari gandrung tampil, Bisa dimaklumi pada jaman kehidupan kerajaan, maka daerah yang jauh dari pusat kerajaan perkembangan seni budaya mengikuti pola seni budaya pusat (kerajaan). Dalam perkembangan masa sekitar tahun 1890-an di daerah Blambangan berkembang suatu bentuk kesenian gandrung yang pelarinya terdiri dari anak-anak laki-laki berusia antara 7 sampai 16 tahun, mereka berdandan mirip penari gandrung wanita.
Adapun pementasan gandrung laki-laki pada saat itu dengan cara keliling masuk kepelosok desa, kemudian penari tersebut mendapat imbalan inatura. Sedangkan gamelan pengiringnya berupa kendang dan terbang (rebana). Penari gandrung yang kesohor waktu itu bernama Marsan. Penari gandrung laki-laki waktu itu hanya mampu bertahan sampai usia 16 tahun. Sedangkan Marsan sampai mencapai usia 40 tahun, dan tetap memilih sebagai penari gandrung sampai akhir hayatnya. Untuk memilih siapa patner penarinya, biasanya sigandrung melempar ujung sampur (selendang) kearah penonton yang mengelilinginya. Pelaksanaan pementasan biasanya dilakukan pada malam hari di halaman terbuka. Pada perkembangan berikutnya sekitar tahun 1895- diangkatlah penari gandrung wanita yang kebetulan dia seorang penari sebiang bernama semi.
Penari gandrung pertama yang bernama Semi tersebut adalah putri dari seorang penduduk Desa Cungking Kecamatan Giri, bernama mak Midah. Desa Cungking sampai tahun 1800-an penduduknya masih memeluk agama Ciwa. Di Desa Cungking tersebut hingga sekarang masih memiliki suatu jenis kesenian sebiang, yakni di kelurahan Bakungan.
GANDRUNG PADA PERKEMBANGAN SEKARANG
Perkembangan kesenian gandrung pada saat sekarang berjalan secara musiman. Kalau oh ac1 ritonan gandrung di suatu tempat ia a terbentuk gandrung paju yang memang untuk memenuhi kontrak mereka yang mempunyai hajatan, entah itu khitanan, dan resepsi pernikahan. Biasanya dimulai dtfri 21.00 sampai pukul 4 dini hari, sekadar memenuhi suatu acara tertentu. Seni paju gandrung atau dikenal dengan ungkapan tanggapan, ada kalanya dilakukan pada siang hariStatus gandrung masa kini mengarah kepada masalah hiburan, dalam kesempatan itu biasanya penari gandrung berfungsi sebagai alat media bagi tuan rumah (yang punya hajatan) dalam menjamu tamu tamunya.
Adapun urutan penampilan biasanya diawali dengan tarian “jejer”, baru menyusul tari dan gending sesuai permintaan para tamu. Selanjutnya pada gjchir penampilan ditutup dengan tarian sebiang. Urutan penari para tamu biasanya terdiri empat orang yang bergantian dalam melakukan tari paju. Urutan tari paju tersebut disesuaikan dengan rangking kedudukan tamu dalam masyarakat, atau menurut urutan datangnya peralatan tersebut. Dalam mengatur urutan tamu penari gandrung dibantu oleh seorang penari gedog atau lajimnya disebut pramugari.
Dalam penampilan gandrung tanggapan itu biasanya selalu terjadi sedikit krodit antar tamu pendatang. Cukup memprihatinkan lagi setiap tontonan gandrung tanggapan identik ada minuman memabukkan. Sambil mengibarkan uang kertas pemaju berambisi ingin terus menari mengandalkan isi kantong. “Wuuullll” itu yang selalu terucap dari mulut pemaju yang dalam keadaan play, tidak menyadari di belakang panggung masih antri menunggu giliran.
This entry was posted
on 11:15 AM
and is filed under
Seni Budaya
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
.